>Menulis, Lagi

30 08 2010

>Layar didepanku masih terus bergulir tanpa aku memencet tombol apapun disana. Handphone renta, yang telah menemaniku selama empat tahun, itu masih terus bergetar tiap layarnya bergulir, lantas ada tulisan-tulisan baru berdesakan dari bagian bawahnya. Emoticon-emoticon mahal terus saja bergerak gerak meninggalkan layar karena terdesak tulisan dan emoticon lainnya. Tiap tulisan punya tujuannya sendiri, pada siapa ia diketikkan, yah, walaupun akan banyak orang yang membacanya.
Ya, aku sedang chatting. Ngeroom lebih tepatnya. Berdesakan dalam ruangan sempit di dunia maya, aku harus menatap 24 user lain berlomba berbincang dan menjadi pusat pertanyaan. Terkadang aku sempatkan menjawab salam dari yang baru masuk, ‘Askum’, ‘Waskum’. Kadang pula aku harus menjawab privat chat yang tersesat ke layarku, beberapa kali sempat membuatku tersenyum ketika yang diseberang sana merasa bisa menutup mataku dengan nickname perempuan. Bahkan beberapa kali aku bisa tertawa ketika tulisan pertama yang muncul, “CS yuk”, atau, “PS yuk”. Yang merepotkan adalah ketika harus menutup dan memblock beberapa user yang tidak mau menyerah membuatku terus tertawa, menghabiskan pulsa saja.
Sudah 3 bulan orang yang biasa menderingkan ponselku tiap tengah malam tak lagi muncul dan membangunkanku. Terasa sepi, aku butuh keramaian. Keberhentianku selama dua tahun dari dunia chat ternyata tak menyurutkan ingatanku pada ramainya ruangan sempit berkapasitas 25 orang itu. Empat hari lalu aku mulai log in dan mencari room bertag lesbian. Menemukan satu room, namun 75% penghuninya lelaki. Room lain, 50% bersarung. Merantau lagi, room ini, setengahnya tak pernah memakai rok. Lagi, room itu, hampir 90% penipu. Untunglah aku belum tersasar pada room yang berisi penculik seperti di facebook. Akhirnya aku berhenti pada satu room yang penunggunya lebih banyak perempuan ketimbang lelaki, tapi entahlah, siapa yang tahu. Mulailah beberapa user menanyai identitas, umur? Anak mana? Label? Ah… pertanyaan terakhir yang sulit aku cari jawabannya. Makin mengenal disana, empat hari ini aku belajar tentang mereka.
Masih dalam keadaan penuh kesadaran, ternyata aku terombang ambing pada sebuah keputusan. Aku sempat terhenyak, terkejut, tersentak, ketika mengetahui aku lebih memilih membuka ruang chat daripada mengetuk pintu rumahku, Sepoci Kopi. Aku benar-benar risau pada diriku sendiri ketika membiarkan imajiku liar menggerogoti akalku. Di mana otakku? Di mana Kyra yang dulu?
Aku ketakutan setengah mati saat menyadari, aku sedang dalam percepatan negatif. Teramat pahit menerima kenyataan bahwa aku kembali ke titik mula, setelah aku berjalan begitu jauh. Aku sudah memulai dengan kecepatan positif, ditambah dengan percepatan positif pula. Lantas aku terhentikan. Sesuatu memperlambatku, membuatku rapuh. Mungkin itu hanya gaya gesek, atau rem? Awalnya kukira begitu, tapi ketika melihat pepohonan di sampingku berjalan maju (gerak relatif karena pengamat berjalan mundur) aku harus mencari jawaban lain, rem dan gaya gesek hanya sanggup menghentikanku, tak lebih.
Tak ada alasan yang lebih menggodaku melebihi alasan cinta. Hm… klasik. Pantaskah aku menyalahkan cinta? Tentu tidak. Cinta itu menyembuhkan, bukan menyakitkan. Cinta intu akselerasi positif, bukan gaya negatif. Lalu apa yang sedang mengembalikanku ke titik asal? Ini bukan tentang bumi yang bulat, atau waktu yang melengkung, ini benar-benar kembali ke titik mula melalui lintasan yang telah ditempuh sebelumnya.
Sepertinya aku harus menelan pil pahit itu, lebih pahit lagi sekarang. Mengerti betul bahwa aku sendirilah yang berbalik dan menempuh jalan ke belakang. Ah… ternyata itu hanya bayanganku yang sedari tadi kelihatan mengintipku, menarikku. Tapi nyatanya? Aku sendirilah yang membuatnya bergerak seolah menarikku, dan aku sendirilah yang menyeret kakiku, menjejalkannya pada jalan-jalan usang yang aku sudah sangat mengenalnya, jalan yang telah aku lewati.
Sedikit tergelitik ketika aku mendapat bonus dari indosat internet gratis 10 menit/200kb. Tak ada gunanya kupakai untuk chat, pasti tak sampai 200 kb, aku rugi. Jadilah aku buka facebook, membalas message dan wallpost. Huft…masih 4 menit/88kb, untuk apa? Teringat lagi pada rumahku, Sepoci Kopi. Ah… tak ada salahnya menghabiskan bonus itu di sana. Lantas aku ketuk lagi pintunya, buru-buru aku buka satu artikel, menyimpannya, membacanya nanti. Lagi, lagi, dan lagi. Aku mendapati ada 4 artikel terbaru (kecuali Pengumuman) tersimpan di saved pages. Ku baca satu persatu artikel-artikel itu, membuatku tertunduk. Aku telah jauh salah arah, melangkah ke belakang.
Aku mulai merunut semua bayangan-bayangan yang berkelebat di depan mataku. Kutemukan alur yang begitu mengherankan, bagaimana aku bisa terjatuh mundur hanya karena peristiwa-peristiwa yang teramat biasa itu? Hm… Lebay dah gua !
Aku merindu. Pada rumahku. Rumah yang dulu tak pernah lupa aku menyeruput secangkir kopi tiap paginya. Rumah yang dulu sempat aku coreti dengan sebuah tinta tak kasat mata. Rumah yang dulu selalu jadi tempat berteduh ketika hujan badai yang sunyi menghimpitku. Rumah yang dulu pernah jadi tempat mengadu hingga aku tertawa renyah mendengar jawabannya. Rumah yang dulu pernah menjadikan rasa penasaran seseorang padaku.
Aku rindu rumah itu. Tak sabar jika harus merangkak kesana. Aku ingin melompat, berlari, bahkan terbang kembali ke sana, ke sarangku, tempat kupersiapkan semua perjalanan itu. Tempat yang hangat dalam sudut nan nyaman.
Senja ini, aku menulis lagi. Tak perlu menunggu hingga urusan sekolah selesai, aku sudah tak tahan ingin menulis. Terlalu anehkah jika aku menulis lagi ? Kurasa tidak. Tapi kenapa kakakku, yah… kenalan dari chatting kelihatan heran? Mungkin inilah perbedaanya.
Terimakasih, SepociKopi. Kau, rumahku, memberiku satu bekal untuk perjalanan, lagi. Bekal itu cukup untuk membuatku berakselerasi positif. Kembali menempuh lintasan positif. Kembali menjejalkan kaki pada jalanan baru…

7 Maret 2010
Kyra





>Menunggui Ponsel

22 12 2009

>Inilah masa di mana semua mulai terurai. Satu persatu data sudah beranjak dari rahasianya dan mulai melempariku dengan beribu bimbang. Dan ketika aku masih tersendiri di sini, hanya menatap ponsel sepi yang tak kunjung berdering lagi, aku tahu sesuatu telah terjadi.

Pagi ini terlalu suci untuk sebuah kecurigaan. Apa boleh buat hanya itu yang menjadi isi otak seorang yang kesepian. Dengan masih terbalut sayup-sayup kesedihan aku terus merangkak pada penantian yang, kurasa mustahil. Sebuah penantian yang aku kira aku sudah menebak akhir skenarionya. Tapi pertanyaannya adalah, “Mengapa aku tetap mencoba?”.

Ponselku masih sepi, belum ada satupun yang menyapanya hari ini. Terlalu asing baginya untuk terdiam di pagi yang sepagi ini. Ia terlalu terbiasa dengan deringan tengah malam, lantas pembicaraan hingga pagi. Ia terlalu setia pada suara-suara yang membuat hari-hariku damai. Ia terlalu intim dengan yang berada di seberang sana yang tiap harinya akan menohokku dengan kasih sayang. Tapi ia belum terbiasa dengan kesepian yang dirasakan si empunya.

Tak butuh sesuatu yang ekstrim untuk membuatku tersiksa, hanya perubahan. Dan sekarang memang ‘its being to be’. Haruskah kiranya aku menyerah ? meski aku tahu aku tak akan pernah sanggup untuk kehilangannya. Toh, aku sudah kehilangannya, sejak ia bukan dia yang kukenal. Entah mengapa orang ini begitu asing bagiku, bahkan bagi ponselku.

Dan akhirnya ponselku masih membisu…





>Kau Ajari Aku

22 12 2009

>Menjadi suatu yang tak berarti bukanlah hal mudah. Apalagi jika itu terjadi setelah semuanya makin bertambah, makin naik, rasa itu memuncak, dan akhirnya hanya dijatuhkan begitu saja.

Aku belum pernah akan membuka bungkusan hatiku untuk orang lain, terlalu mahal. Belum sekalipun air mataku tumpah untuk sebuah rasa kebimbangan. Belum ku tahu aku bisa patah hati hingga seperti ini. Tapi kau sudah menunjukkanku bagaimana melakukan semua itu. Mencintai, semakin mencinta, terlalu mencinta, lantas jatuh, sakit, amat sakit, terlalu sakit.

Kau sudah ajarkan aku bagaimana membuka bungkusan rapi yang tergelat bertahun-tahun tanpa seorangpun yang kuijinkan untuk menjamahnya. Tapi sayang, kau baru mengajariku untuk membukanya, tapi tidak mengajarkanku untuk menikmatinya. Belum sempat kau ajarkan itu, sudah kau ganti kelas kita dengan pelajaran baru, bagaimana caranya menangis. Terlalu sulit memang, karena belum pernah sekalipun aku menangis dengan alasan perasaan. Tapi kau mengajarkannya dengan baik kepadaku, hingga aku mengerti benar tentang arti sebuah tangisan. Semakin kau mengajariku untuk menangis, lantas kau ajari aku rasanya sakit. Sebuah rasa yang membuat praktek tangisku semakin menjadi, semakin mahir. Dan kau selesaikan aku dengan sebuah kebimbangan yang kau ajarkan pada kelas terakhir.

Kebimbangan yang kau tinggalkan, karena kelas terakhir sudah usai. Belum sempat kau mengajariku tentang sebuah reinkarnasi, kau sudah pergi. Lalu, apa aku harus belajar sendiri ?