>Sungai Beku

6 04 2009

>

Sungai Beku

Sine, 28 Desember 2008

By
Dyah U. K.

Sebuah cerita fiksi bertajuk mistis

Sihir sederhana dengan balutan suasana kengerian

Jemputlah rasa takutmu !

1
Sungai Beku

George ternganga ketika melihat kilatan cahaya merah di dalam air. Ia sedang dikerjai teman-temannya. Sebuah cahaya kuat dari sebuah logam di bawah endapan pasir di dasar sungai Beku yang penuh misteri. Sungai yang mengandung legenda mengerikan.
Memang ada legenda yang menyebutkan bahwa ratusan tahun yang lalu terjadi pertempuran hebat di lembah sungai itu. pertempuran antara bangsa suku Whire dan suku Gourt. Kedua suku yang sama-sama mempunyai aliran mistis kuat. Menurut legenda, tak ada yang menang di antara dua suku itu, keduanya sama-sama kuat. Bertarung mati-matian untuk membela sukunya masing-masing. Bertarung hingga tetes darah penghabisan sebagai perjuangan mempertahankan kehormatannya. Sama-sama menjajah, sama-sama terjajah. Sama-sama membunuh, sama-sama dibunuh. Sama-sama mati dan sama-sama hidup. Sungguh tak berbeda antara dua suku ini.
Konon setelah tujuh tahun berperang dan tidak ada pemenang, keduanya mengambil keputusan untuk berdamai. Terlalu banyak darah yang tumpah, terlalu banyak nyawa yang hilang, dan terlalu banyak istri dan anak terlantar.

2
Kilatan Merah
Hingga 222 tahun kemudian, seorang George Quereen sedang mendapat masalah dengan teman seperguruannya. Ia memang lebih suka membaca buku dari pada mendengarkan gurunya berceramah. Ia lebih suka memperhatikan matang-matang sebuah gerakan beladiri, daripada menghafal seluruh jurus. Ia memang paling lambat saat awal materi suatu jurus, namun ia akan menjadi paling sempurna dan paling pandai menggunakan jurus itu dibanding kawan-kawannya. Memang begitu cara berpikirnya, ia memperhatikan tiap gerakan dengan seksama, secara bertahap. Ia akan memilih untuk berhenti saat ia tidak mengerti daripada melanjutkan dengan modal ketidakmengertian. Lambat tapi cepat. Cermat tapi cerdik. Malas tapi rajin pada tempatnya. Atas kelakuannya tersebut ia tidak mendapat banyak teman. Banyak yang iri padanya karena guru mereka sangat bangga pada seorang George. Hampir tiap hari George harus bersiap menerima hadiah dari temannya berupa pukulan, tendangan, cemooh, bahkan penyiksaan. Dan kali ini sasarannya adalah sungai. Mereka menyeret George ke lembah yang rimbun semaknya agar aman saat menyiksa George. Mereka berlima. Dua dari mereka masih di atas lembah, sedang tiga lainnya mencengkeram tangan George ke tengah sungai. Geprge hanya pasrah karena memang malas untuk melawan. Mereka benamkan wajah George dalam air sambil tertawa nyaring. George sudah menebak apa yang akan mereka lakukan. Dengan tenang ia hanya menghirup nafas panjang tenang sebelum dibenamkan. Dalam air ia hanya tenang, mencoba membuka matanya, karena ia tahu ia akan dapat bertahan beberapa menit dengan teknik pernafasan dasar yang diajarkan gurunya. Dan temannya akan bosan menunggunya berendam dalam air. Dalam air ia buka matanya, sekilas ia lihat kilauan cahaya merah dari bawah endapan pasir. Ia pertajam matanya, hingga ia tahu bahwa kilatan itu berasal dari sebuah benda logam. Awalnya ia menyangka itu adalah emas, namun kelamaan ia amati benda itu tajam.
Tiba-tiba teman-temannya menariknya dari dalam air. Mereka heran kenapa George tidak kehabisan nafas. Tapi mata George hanya tertuju pada benda logam dengan kilatan cahaya merah yang telah merenggut konsentrasinya tadi. Teman-temannya memandang George dengan curiga dan ketika mengerti bahwa George manatap sesuatu, segera mereka alihkan pandangan mereka pada timbunan pasir di bawah aliran sungai. Mereka memincingkan mata, mencoba mencari-cari apa yang George perhatikan. Namun tak ada apa-apa.
“Apa yang kau lihat, heh ?” satu temannya bertanya ingin tahu.
George hanya diam. Pandangannya tetap tertuju pada gundukan pasir di bawah air. Seperti tak ada yang dapat mengalihkan perhatiannya. Tiba-tiba yang bertanya tadi menghantam perut George dengan kepalan tangannya. Spontan George terpekik kaget karena tak siap untuk menahan pukulan itu. Darah segar menetes dari mulutnya, jatuh ke air sungai, bercampur, dan turun ke pasir di bawah air. Menyentuh logam berkilat itu.
Sebelum sadar apa yang akan ia perbuat, teman-temannya menegakkan badannya, tertawa riang. “Apa yang kau lihat?” yang lain bertanya.
George heran. Ternyata teman-temannya tak dapat melihat apa yang ia lihat. Mereka tidak dapat melihat kilatan cahaya merah yang berasal dari logam di bawah pasir itu. tanpa ia sadari rasa takut menyergapnya. “Benda apa itu?”tanyanya dalam hati. Tapi dengan cepat ia kuasai rasa takut itu. dan hanya menjawab, “Hanya seekor ikan yang sekarat karena dikeroyok teman-temannya.”
“Heh ! Kau mengejek kami ya ? kau pikir kami hanya bisa keroyokan ? Awas Kau !!!!” salah satu temannya melayangkan pukulan menuju rusuk kirinya.
Dengan sigap George menangkis serangan itu dan membalikkan keadaan. Ia kini siap menyarangkan pukulannya ke ulu hati anak itu. namun diturunkannya tangannya. “Aku tak ingin mencari perkara, dan aku tak ingin kalian nantinya malu dengan diri kalian sendiri.” Lalu ia melangkah ke tepian meninggalkan temannya yang bingung. Sampai di tepian kedua temannya yang menunggu siap melayangkan tendangan ke kepalanya. George hanya berhenti dan menangkis tendangan itu dengan kakinya. Kedua temannya terguling di semak rimbun. George melanjutkan langkahnya sambil mengusap darah dari mulutnya dengan santai kembali ke perguruan, seolah tak terjadi apa-apa.
Teman-temannya hanya terkesiap di tempat mematung seolah heran dengan George yang tiba-tiba memberontak, padahal selama ini ia hanya pasrah seolah tak berdaya.

3
Kaulah Tuannya

Malam itu George tak bisa tidur. Ia hanya terbayang kilatan merah dalam air tadi siang. Ia ingat betul ada satu simbol di pangkal logam itu. Symbol bergambar dua lingkaran dalam gelombang dan dibawahnya ada garis lurus. Ia masih terbayang dengan simbol itu. dia bangun dari tempat tidurnya dengan tergesa-gesa, diraihnya lampu petromax dan mengendap melalui koridor gedung sekolah tua itu. sampai di persimpangan menuju perpustakaan ia hentikan langkahnya, celingukan kesana-kemari mencari-cari sesuatu yang tidak ada, penjaga. Diteruskannya langkahnya hingga hampir mencapai pintu perpustakaan, terkaget ia saat ia seperti ditarik oleh sesuatu ke belakang. Ia menoleh dan ternyata kepala sekolah dibelakangnya.
“Emmm…. Sel….selamat mal…malam, PP..p..p Pak !
“Malam, George. Kenapa kau disini ? tak seharusnya kau belum tidur.”
“ Em… saya… saya… saya seddaaang….. sedang….,” dijawabnya gagap, hingga akhirnya ia tarik nafas panjang ,”Huh….” Pak, saya kesini karena mencari arti dari suatu simbol yang saya temukan tadi siang, Pak. Maaf saya lancang.”
“Hm…. simbol apa yang membuatmu begitu tertarik dan senekat ini ?”
“Itu adalah sebuah simbol dengan gambar dua lingkaran dikelilingi garis bergelombang diatas sebuah garis lurus. Aku menemukannya di sungai, Pak.”
Kepala sekolah terbelalak mendengar cerita George, seolah ia tahu dimana maksud pembicaraan George. Ia tahu sesuatu tentang itu. “Sungai mana?”
George berfikir sejenak lalu menatap mata Kepala sekolah yang sudah terbelalak. Keduanya menebak fikiran lawan bicaranya. Seolah ada telepati antara keduanya. Bersamaan mereka menjawab, “Sungai Beku.”
Kepala menghela nafas panjang, amat panjang, seolah sesuatu yang besar telah terjadi.”George, bisakah kau ke ruanganku sekarang?”
“Tentu , Pak”
Mereka lantas berjalan menuju ruangan kepala sekolah, pintunya terbuka sehingga tampak dari luar bahwa ruangan itu tidak terlalu mewah tetapi sangat nyaman dan menentramkan.
“Dengarkan aku, George,”Kepala sekolah memulai. “Kau tahu bahwa legenda di sini mengatakan bahwa ratusan tahun yang lalu ada perang hebat antara suku Gourt dan Suku Whire di lembah Sungai Beku.”
“Ya, Pak. Dan Sungai Beku menjadi angker karenanya. Tapi mereka akhirnya berdamai dan hidup bahagia hingga saat ini.
“Itu tidak seluruhnya benar, begini cerita yang sesungguhnya. Setelah berperang selama 7 tahun, mereka akhirnya berdamai. Namun, diantara manusia-manusia yang lelah berperang itu, masih ada satu orang yang tidak menerima perdamaian itu. Jim Clarckson, dari suku Gourt, seorang berpola pikir dangkal, emosional, dan menelan semua kenyataan mentah-mentah. Jim memang punya kelainan pada otaknya, tak bisa memaafkan. Di malam pertama perdamaian itu, semua orang tertidur lelap, damai, tanpa ancaman. semua ngaso dari keletihan selama 7 tahun. Tapi tidak bagi Jim. Sambil mengendap-endap ia keluar dari barak anggotanya. Saat itu malam yang terang, bulan purnama bersinar dengan sempurna, menjadikan malam tak ubahnya dengan siang. Hewan-hewan kecil mulai bernyanyi mengiringi kedamaian tidur pada prajurit yang sudah lelah. Jim berjinjit keluar dari baraknya. Dibukanya tenda dengan sangat hati-hati, keluarlah ia. Dipandangnya langit dengan tatapan nanar, saat yang ia tunggu telah datang. ia berlari kecil ke tengah sungai. Dilihatnya air sungai yang sejuk mengalir di sela-sela kakinya. Lalu ia benamkan telapak tangan kirinya dalam air, tangan kanannya mengambil sebuah belati dari balik bajunya. Masih dipandangnya air sungai yang kemilau oleh bulan purnama. Dibacanya sebuah kalimat, bahasa Gourt, ‘Hersaaga seh kipreenastika ik leis ta ozkai’. Air sungai yang tenang itu kini meninggi, sebatas pinggang Jim, hingga ia tak perlu membungkuk untuk telapaknya tetap terbenam. Ia tarik nafas panjang, menegakkan dirinya, dan mengacungkan belati itu tepat di wajah bulan, berteriaklah ia, ‘Hersaaga fisiorta los ques harsuuta’. Ia tutup kedua matanya, ia tajamkan telinganya. Semua prajurit terbangun oleh teriakan Jim, semua keluar dan terbelalak melihat sungai itu. Tiba-tiba air sungai itu naik dan semakin naik, mencapai tepian barak kedua suku, menenggelamkannya. Memenuhi lembah itu dengan air yang tak mengalir. Tak ada yang selamat. Semua terlalu cepat hingga yang menyadarinya pun tak bisa lari. Semua prajurit dari kedua suku bersama Jim, sudah tenggelam, kini melayang dalam air, mencoba berenang ke atas. Tiba-tiba Jim menusukkan belatinya tepat pada jantungnya. Dan seketika itu permukaan air sungai itu menjadi es. Orang-orang yang mencoba berenang tak cukup cepat untuk mendahuluinya. Mereka terperangkap dalam kolam berlapis es. Hanya bisa memberontak pada es itu, dengan mata penuh ketakutan, kengerian, takjub, dan pasrah. Mulut mereka terbuka mencoba meneriakkan sesuatu, namun hanya air yang keluar dari mulut mereka. Mereka memukul-mukul lapisan es itu dengan kepalan tangan mereka, namun percuma. Jim hanya tersenyum pahit. Di cabutnya belati itu dari tubuhnya. Kini darah Jim mulai meninggalkan tubuhnya. Saat darah itu bercampur dengan air sungai, tiba-tiba air itu membeku, dengan semua orang terperangkap di dalamnya. Berpose panik mencoba keluar, tapi telah membeku. Mayat-mayat beku dalam es sepanjang lembah itu. Mayat dengan wajah panik, marah, dan dingin. Hanya satu wajah yang tetap tersenyum, Jim. Arwah semua yang mati hari itu terperangkap dalam belati milik Jim, yang lalu menyala merah dalam es. Berpendar bagai api yang sangat panas. Belati api dalam bekunya es. Esoknya, sinar mentari merah merekah di balik rimbunnya semak di lembah itu, menyinari ratusan mayat beku di sungai Beku. Membenamkan wajah mereka pada es yang kini berkilauan merah karena sinar matahari. Hangatnya segera menyinari bumi hijau. Hari semakin hangat dan semakin panas, namun anehnya es itu tak kunjung mencair. Tetap membatu dengan relief kehidupan yang terhenti. Hingga saat matahari mencapai titik tengahnya, tepat pada wajah bulan tadi malam. Tiba-tiba semua menghilang. Hanya lenyap begitu saja, tidak terbang ataupun ditelan bumi. Es itupun tidak mencair, tapi sekejap hilang bersama wajah-wajah beku di dalamnya. Entah kemana semua mayat, es, tenda, batu, ikan, dan belati itu. semua hilang, lenyap, hanya meninggalkan kabut putih tipis yang sangat dingin di lembah itu. sekejap lembah itu kering, tanpa air. Semua lenyap. Saat matahari mulai padam, terbenam, digantikan cahaya bulan purnama ke 2 bulan itu. semua berubah. Bulan merangkak menuju titik balik pusatnya. Dan ketika ia tiba. seketika terdengar gemuruh dari hulu sungai. Air mengalir deras setinggi bukit membanjiri lembah yang sudah kering itu. bersama batu, ikan, dan belati api. Lembah itu kini menjadi seperti semula, sebelum ada pertempuran, damai. Hanya satu yang berbeda, terselip satu belati kecil dengan kilatan merah sepanjang garis tajamnya, dibawah endapan pasir dalam arus air sungau. Diam, menunggu tuannya yang baru. Dia tak akan dapat ditemukan, kecuali oleh tuannya. Dia tak akan dapat dilihat sebelum ia tersentuh oleh majukan barunya. Hanya tuannya yang telah ia pilih yang dapat melihat dan menemukannya. Dan tuan yang telah dipilih belati itu adalah kau, George.”

4
Pertarungan

George terbelalak. Matanya melotot dan rahangnya terbuka menahan kekagetannya. “Aku ?…. Kenapa harus aku ? Apa yang harus kulakukan?” tanyanya dengan nada kebingungan. Mereka terdiam.
“George, kau harus membebaskan jiwa ratusan orang yang membeku dalam belati itu.” sahut Kepala sekolah akhirnya.
“Aku ? T….tap…..tapi….. tapi… bagaimana ?
“Upacara Deshire.”
“Ap…. Deshire? Aku tidak mengerti.”
“Itu adalah upacara pembebasan arwah yang terperangkap yang dilakukan oleh nenek moyang kita ratusan tahun lalu. Upacara yang mengerikan namun kau harus melakukannya agar arwah mereka tidak mencari sahabat.”
“Sahabat ?”
“Kau pikir kemana para gadis dan anak-anak yang hilang setiap tahun dari desa kita ?”
“Baiklah.”Jawab George mantap. “Aku tak takut”.
“Kita lakukan malam ini, karena ini malam purnama pertama bulan ini. Dan bertepatan 222 tahun kejadian berdarah itu. jika tak kau lakukan malam ini, maka malam ini kejadian 222 tahun yang akan terulang tidak hanya di lembah Beku, namun seluruh bumi hijau. Kau harus persiapkan dirimu.”
“Hidup adalah pilihan, namun juga ada takdir. Jika takdirku mati maka aku memang harus mati. Aku siap setiap saat menghadapi takdirku.”
Mereka berjalan beriringan menuju sungai Beku yang menyeramkan. Diiringi terang bulan yang sempurna seperti dulu. Gemericik air terdengar dari air jernih berkilau yang memantulkan sinar rembulan.
“Ini sudah tepat tengah malam. Masuklah ke air dan panggillah belati itu! dengan ini” perintah Kepala sekolah sambil memberikan sebuah kertas usang kecil pada George.
George menjejalkan kakinya pada air jernih itu. saat ia menyentuh air. Dirasakannya suatu detak jantung lain dalam tubuhnya. Detak jantung banyak manusia. Detak itu membuat jantungnya seolah tidak kuat menahannya. Ia serasa hendak terjatuh.
“George ! Jangan mau terjatuh !!!!! itu hanya tipuan mereka !”teriak Kepala Sekolah.
George tersadar oleh teriakan itu . ia coba menahan rasa sakit jantungnya, menuju tengah sungai. Sampai ditengah sungai, ia merasakan suatu yang berbeda dalam tubuhnya. Jiwa lain, bukan jiwanya, jiwa yang penuh amarah, kebencian, dan kengerian. Jiwa Jim.
Tapi George tak sebodoh Jim yang berakal pendek. Ia sadar bahwa dirinya hampir diambil alih. dia sadar dia harus melawan jiwa Jim dalam dirinya. Tak terelakkan pertempuran dalam diri George terjadi. Dari luar Kepala Sekoalh dengan cemas melihat George yang seperti orang kesetanan. Berbicara dengan dua suara. Dua watak, dua tujuan, dan dua pandangan mata.
George terjerembap dalam sebuah tempat yang maha luas. Putih, bersih, tak ada apapun. Lalu didepannya muncul sesosok tubuh dengan pakaian prajurit lengkap dan sorot mata kebengisan, Jim. Jim mengangkat tangannya memegang sebuah belati berkilau merah dan siap menebas leher George. Tapi George sadar.belati itulah yang harus ia rebut sebelum bulan purnama habis. Ia tahu bahwa tak mungkin ia menang dengan mempraktekkan bela diri dari gurunya. Ia hanya bisa menghindr dari serangan-serangan Jim, dalam situasi kritis, tiba-tiba ia sadar bahwa Jim kalah dengan amarahnya sendiri. Ia tak akan kalah seperti Jim. Ia duduk bersila, berkonsentrasi, membuang semua fikiran dalam pikirannya. Terfokus. Jim siap mengayunkan belatinya membelah kepala George. Diayunnya belati itu. tapi tiba-tiba belati itu hilang, begitu juga dirinya. Kini George menang. Ia kembali menguasai dirinya.
Ketika George sadar, Kepala Sekolah sudah berteriak teriak, “Cepat, Waktunya !” George mengerti. Ia benamkan telapak tangan kirinya, tangan kirinya memegang kertas usang dan kemudian ia baca ,” Hersaaga seh kipreenastika ik leis ta ozkai”. Air sungai itu meninggi setinggi lutut, kemudia dilanjutkannya membaca ,”Hersaaga fisiorta los ques harsuuta’. Tiba-tiba air di sekeliling George meninggi membentur pusaran air dengan George sebagai pusatnya. Mengelilinginya setinggi dua kaki di atas kepalanya. Bagian atas pusaran itu menyatu membentuk suatu puncak. Dari puncak itu melesat sebuah logam berkilau merah. Belati. Air sungai tiba-tiba seperti kehilangan semua kekuatannya. Tiba-tiba berhenti dan terjatuh di tubuh George. George basah kuyup oleh air itu dan oleh keringatnya sendiri.

Belati itu kini melayang di udara terbakar api merah menyala. Kepala Sekolah berseru “George, panggil dia !” George bingung bagaimana memanggilnya. Lalu ia teringat kejadian ketika ia di kerjai teman-temannya. Di gigitnya ujung jari tengahnya, lalu ia memanggil belati itu dengan hatinya. Menyamakan detak jantung dan perasaannya. Belati itu menurut. Ia turun mendekati tetasan darah yang jatuh ke sungai. Ke tangan George. George memegangnya dengan tangan kanan dan tangan kirinya kembali ia benamkan dalam air seraya membaca ‘Hersaaga seh kipreenastika ik leis ta ozkai’. Entah kenapa ia begitu lancar kali ini tanpa menghafalnya. Lalu ia acungkan belati itu ke wajah bulan. Di bacanya ‘Hersaaga fisiorta los ques harsuuta’. Air sungai kembali bergelombang. Namun kali ini hanya setinggi pinggang George, berputar mengelilingi George. Belati itu bercahaya semakin terang. Dari ujungnya keluar kabut-kabut putih yang beterbangan dan menghilang. Arwah-arwah itu sedang keluar dari belati itu. semakin lama semakin kuat. George tidak sanggup lagi berdiri. Ia terjatuh berlutut, tangannya tetap mengacung ke wajah bulan. Tenaga belati itu makin kuat. Cahayanya semakin terang, hingga kilatan cahaya terakhir berwarna merah darah bercampur hitam, George tak mampu lagi bertahan. Ia pingsan di sungai itu.

5
Hanya Belati Biasa

George membuka matanya yang masih sayu. Ia sudah berada di kamarnya, dan ada Kepala Sekolah di samping ranjangnya.
“George !” Teriak kepala sekolah. “Kau sudah bangun ! Kita berhasil !”
“Pak, bukankah saya pingsan kemarin malam ?”

‘Ya, dan kaun pingsan setelah iblis terkuat, yaitu hawa jahat yang ada pada Jim sudah keluar dan lenyap dari belati itu. dan sekarang, ini sudah bukan apa-apa lagi.” Kata Kepala Sekolah sambil menunjukkan belati dari logam, tapi tak berkilau merah. Itu hanya belati biasa sekarang

)*
Dyah uswatun Khasanah
Lahir 4 Mei 1992, penulis pemula
Ekspresionastis, fiksioner
Dreamer, nonlogis
Siswi
0857 36 77 3838
dy.galz@gmail.com





>Reggie

6 04 2009

>Aku beranjak dari lamunanku ketika sepasang lengan memelukku dari belakang. Komputer didepanku masih menyuguhkan screensaver setelah lama kutelantarkan dengan lamunanku. Lengan itu semakin erat memelukku hingga kini aku benar-benar berada dalam dekapan pemiliknya. Seolah tak mau menunggu, ia justru menggeletakkan dagunya di pundak kananku.

Penantian yang begitu menyakitkan akhirnya terjawab jua. Nafas kelegaannya mengalir dalam darahku yang sedari dulu menjadi miliknya. Kepulanganku dari Manila ialah hal yang paling ia dambakan. Dari SMS yang ia kirimkan setiap lima menit, aku tahu bahwa kerinduan itu benar-benar menggerogoti kebahagiaannya. Mendekam dalam apartemen luas tak menjadikan keceriaan dalam penantiannya.

Keresahan memaksanya selalu menggeggam telepon selular setiap saat, agar tiap lima menit ia dapat menanyaiku hal-hal sepele. Cukup merepotkan ketika aku harus berhadapan dengan rektorku karena lebih sering menjawab telepon dari pada menjalankan tugasku sebagai mahasiswa pertukaran. Tapi aku menikmatinya. Itulah hal yang membuatku terlunta dalam aniaya rindunya. Perempuan macam dia tidak akan banyak kutemui dalam dunia hingar bingar ini. Kepeduliannya yang berlebihan adalah sensualitas yang dapat menarikku menjadi tawanannya. Meski ia bukan seorang intelektual, bukan seorang bidadari dengan rayuan manisnya, bukan seorang yang bersopan santun pada dunia.

Tak sepatah katapun ia ucapkan saat memberiku kedamaian dalam dekapan hangatnya. Tak diacuhkannya layar komputer yang bergerak membayang dalam matanya. Hanya semakin dirapatkannya pelukan itu. Memberiku lebih banyak ketentraman dari pada pelukan seorang lelaki. Kelegaannya kini bernafas riang dalam senyum manisnya. Berhembus panjang dari hidung mancungnya ketika kelopak matanya mulai memejam. Semakin dirasakannya kelegaan itu.

Cukup lama pelukan itu enggan ia lepas. Sampai aku meronta oleh ketukan berirama dari pintu kamar. Sedikit kekecewaan terbersit dari wajah cantiknya saat melepaskanku. Perjalananku ke arah pintu hanya berlangsung lima detik sebelum kulihat ibuku membuka pintu dan menyodorkan sebungkus cokelat lantas segera pergi.

Ini hari valentine. Sudah ada 12 kotak cokelat mahal di atas mejaku. Dan cokelat yang kini tengah kupegang adalah yang ke 13. Semua cokelat itu menjadi tanda bahwa pengirimnya menaruh perhatian lebih padaku. Ah… itu semua tak berarti bagiku. Semua lelaki sepertinya tak lekas pergi dariku. Aku tak mengerti kenapa mereka enggan untuk tidak menoleh ketika aku lewat. Padahal sudah setahun ini aku tak lagi punya perhatian dengan makhluk lelaki.

Aku sudah punya sayap yang begitu indah, Reggie. Perempuan yang telah membuatku berpaling dari lelaki, membuatku menorehkan jejak baru tentang kehidupan, membuat kenyamanan tak hanya datang dari rasa ketakutan. Kepedulian dan kelembutannya menjadi angin hangat dalam jiwaku. Keberaniannya membelaku menjadi suatu ketentraman yang berbeda.

Reggie hanya tersenyum kecil mengejek melihat ku melempar cokelat itu ke atas meja. Ia lantas berdiri, berlari kecil ke arahku, kemudian menubrukku hingga terjerembab dalam ranjang empuk. Tawanya menggema dalam telingaku dan menjadi suatu anugerah yang tak hentinya ku syukuri. Bisikan nakalnya mulai merambati setiap lorong pembuluh darahku. Pelukannya seolah tak ingin kehilangan tubuh yang sedang ia dekap. Nafasnya mulai memburu berlomba dengan degup jantungnya kecupannya membuat libidoku mulai berdesakan memasuki otakku. Sentuhannya benar-benar membuatku terjebak dalam kepasrahan pelampiasan kerinduannya setelah seminggu aku meninggalkannya. Rambutnya yang panjang beradu dengan keringat kami. Lidahnya yang lembut menyapu setiap pori tubuh ini. Malam itu kami benar-benar menikmati kerinduan kami, hingga terlelap dalam pelukan satu sama lain.

Entah sampai kapan rahasia ini akan tetap terpendam. Orangtuaku tak akan menaruh curiga pada Reggie karena memang Reggie sahabat karibku sejak bangku sekolah. Tapi entah dengan teman-teman kuliahku. Mungkin mereka sudah mencium perbedaan ini dari sikapku dan Reggie yang benar-benar mesra seperti layaknya sepasang kekasih dimabuk cinta. Kenyataannya memang kami benar-benar saling mengagumi dan menyayangi, hingga mencintai. Toh… jika memang rahasia ini terbongkar, aku tak akan peduli. Aku sudah punya Reggie, sayapku nan indah, membawaku menerbangi hidup, melindungiku bahkan dari ganasnya gurun Kalahari.

Oh Tuhan… jangan biarkan angin itu merenggut sayap ini. Cercaan malaikat itu akan ku halau demi dekapan seorang Reggie. Meski mungkin dunia menentang ini, tapi bukankah setiap manusia punya haknya sendiri ? bukankah setiap orang berhak memilih jalannya ? Lantas kenapa mereka tetap bergunjing dalam sudut-sudut cafe ? Lantas mengapa tak seorangpun mengerti ?

Tuhan…

Telah aku persiapkan perjalanan ini…

Menempuh antah berantah…

Menjejalkan kaki pada jalan ganjil…

Mendengar tawa kecil kebahagiaan…

Terbang dengan sayap nan indah…

Regggie..

Penulis

Dyah Uswatun Khasanah

Lahir 4 Mei 1992

0857 36 77 3838

dy.galz@gmail.com





>Di Dusun Lembah Krakatau

25 03 2009

>Cerpen St. Fatimah*)

Banjo berjalan gontai pelan-pelan di belakang emaknya. Burung-burung gagak hitam terbang rendah, berkoak-koak memekak. Di atas, langit yang damai tak menjanjikan sama sekali rasa aman.

Lewat baris-baris pohon jati di sepanjang jalan, si emak dan anak laki-lakinya itu dapat melihat lembah Krakatau yang melandai berombak-ombak. Tak mereka jumpai lagi sosok-sosok manusia yang berarak tak henti-henti mendaki seperti semut, tak peduli disambut oleh lingkaran awan tebal dan gumpalan langit tak berawan. Sebuah kabar burung tentang anak siluman telah memutus urat keberanian mereka.
“Banjo!”
Emaknya tiba-tiba berhenti.

Mendengar namanya dipanggil, anak itu terkejut. Bukan karena takut, melainkan karena firasat yang semakin dekat. Kenyataan yang akan datang tentang firasat itu bisa terasa sangat sakit, bahkan bisa juga mematikan.
“Kau lelah, Jo? Sepertinya Emak terlalu memaksamu berjalan hingga sejauh ini. Maafkan Emak, Jo.”

Sesudah mengusap liur yang meleleh di sudut bibirnya, si emak menggandeng tangan Banjo, dan ucapnya lagi, “Ayo kita pergi ke pohon besar di sana itu. Kita buka bekal makanan kita. Kau lapar kan?”
Banjo tidak menjawab dengan kata-kata. Ia mengangguk saja, lalu mengekor patuh di belakang emaknya.

Tidak jauh dari situ tampak pohon besar yang rimbun daunnya. Di situ emak membuka buntalan kain sarung, sementara anak laki-lakinya selonjor, melenturkan otot-otot kakinya, dengan bersandar pada batang pohon besar itu.
“Banjo, duduklah dekat Emak sini.”
Banjo merangkak menuju emaknya.

Emak mengeluarkan dua lembar daun jati tua. Ia melipat satu lembar daun jati itu sedemikian rupa di atas telapak tangannya, hingga membentuk semacam mangkok makan. Diisinya mangkok daun jati itu dengan nasi, gorengan ikan asin, dan sayuran rebus. “Kau ingin Emak menyuapimu?”
Banjo mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda setuju.

Emak menyeringai senang, memperlihatkan sederetan gigi yang warna putihnya tak sempurna. Ia senang melihat anak laki-lakinya makan dengan lahap. Ia seketika lupa bagaimana anak-anak penduduk dusun sini melempari Banjo dengan tomat busuk dan batu kerikil. Sementara orang-orang dewasa melihat kejadian itu tanpa bereaksi apa pun selain tertawa. Apa yang lucu dari melihat seorang bocah laki-laki yang pasrah begitu saja ditawur bocah-bocah sebayanya, dilempari batu hingga mengakibatkan luka memar dan berdarah di sekujur tubuhnya? Apa semua lelucon tak pernah berperasaan?

Barangkali penduduk dusun sini meyakininya demikian. Mereka terpingkal tanpa rasa kasihan. Beberapa di antara mereka mencorongkan tangan di mulut dan meneriaki anak lelaki malangnya dengan kata-kata kasar. Mereka mengerumuninya dan menggiring ke luar dusun. Emak sudah hapal dengan perlakuan penduduk dusun ini; tanpa perasaan mendendam ia berbisik pada diri sendiri, “Barangkali mereka capek kerja ladang seharian, lalu mereka mencoba mencari hiburan.”

Emak dengan sabar dan telaten membesarkan hati putra semata wayangnya itu. Tak ada yang benar-benar membuat hatinya meluap kegembiraannya, selain ketika bisa melihat wajah Banjo tampak tersenyum sewaktu tidur. Dalam pikirannya, senyum Banjo sewaktu tidur itu berarti segala-galanya. Leluhurnya pernah bilang, jika di pertengahan tidurnya seorang anak mengigau atau menjerit-jerit, itu artinya ada bayangan hitam yang menempel pada si anak. Dan emak tak mau bayangan hitam itu satu kali saja menempeli putra tunggalnya.
Banjo sudah lelap di pangkuan emaknya. Sementara emak mulai tak kuasa menghardik rasa kantuknya.

Dusun yang bermandikan cahaya kekuningan matahari menghilang di kejauhan, berangsur-angsur digelapkan oleh kabut petang musim penghujan. Tapi musim penghujan bukan halangan besar bagi penduduk dusun untuk mencari nafkah. Karena mereka percaya Hyang Air dan Hyang Angin telah mereka buat kenyang dan senang hati dengan upacara, tumbal, dan sesaji. Kepercayaan itu juga yang membuat emak dan Banjo terusir dari dusun itu.

Semuanya seperti berputar kembali. Kaki langit menggenang dalam kubangan kuning kemerahan. Jangkrik-jangkrik mulai menghela komposisi kerikannya. Satu-dua burung hantu menyembulkan kepalanya dari lubang sarangnya, membawa badannya yang buntal ke tengger pohon yang paling tinggi –hampir menyundul dagu bulan. Dan hewan-hewan malam lainnya pun serentak bergerilya ke sebalik lubang-lubang amat gelap.

Emak pulang larut malam dari rumah Wak Nardi dengan berbekal obor bambu di genggaman tangannya. Malam itu tak seperti malam-malam lalu. Amat gelap, amat dingin, amat mencekam. Kesiur angin membuat nyala obornya bergetar bergoyang-goyang selalu. Kedua belah matanya beberapa kali merem-melek, menyiasati lesatan uap kabut yang menggores jarak pandangannya.

Tapi, tiba-tiba kabut itu dikejapkan cahaya kilat –dan sungguh mengejutkan. Begitu ganjil kedatangan kilat itu. Kini yang dilihatnya bukan lagi kepulan kabut yang mengendap-endap lambat menyergap, tapi semacam gumpalan asap tebal yang mirip kepala raksasa yang bertonjol-tonjol menyeramkan.

Sekejap, kilat menyabet terang membelah langit. Di ujung jalan berbatu di sebelah barat, dari tengah-tengah sepasang pohon asem yang tegak kekar di kanan-kiri badan jalan muncullah bayangan sosok tubuh yang setindak demi setindak menuju ke arahnya, tapi hilang-hilang nyata dalam sabetan-sabetan cahaya kilat. Betapapun emak berusaha dengan menajamkan sorot mata kuyunya yang bernaung dalam kecekungan lubang matanya, sia-sia saja ia mengenali wajah tubuh itu. Tapi jelas, dari gerak-gerik sosok tubuh asing yang sedang menuju ke arahnya itu adalah sosok perempuan.

Hatinya bergetar, berdegup-degup tak karuan. Terus terang emak sedang ketakutan. Dinantikannya sampai sosok itu melontarkan setidaknya satu patah kata lebih dulu. Sungguh pun diketahuinya kecil kemungkinannya sosok itu adalah orang dusun yang dikenalnya, tapi entah mengapa ia masih mau berdiri memaku menunggu sosok tanpa wajah itu menegurnya.

Hingga….akhirnya sosok berwajah lembut nan cerlang itu tersenyum padanya, bersamaan muncul lingkaran cahaya terang memusar lalu memancar –begitu seterusnya– di belakangnya. Cantik, sungguh cantik. Dua belah mata yang berbinar tegas, meninggalkan sorot yang menggores tajam setiap memandang. Bibirnya menggumpal padat berisi dan basah mengkilap. Kulit wajahnya halus sempurna dan seputih kapas. Wajah itu sungguh bercahaya menggetarkan dada dan menyejukkan hatinya, sampai-sampai mulut emak menganga. Beberapa kali ia pun menghela napas, menggeleng-gelengkan kepalanya, sementara balas tersenyum balik. Ia berubah seperti anak kecil yang tengah mendapati sebatang kembang gula yang tiba-tiba tergenggam di kedua tangannya.

Bau harum menusuk hidung emak. Bau harum yang mengepul dari kibasan jubah panjang sosok makhluk cantik itu. Ya, makhluk cantik, hanya sebutan itu yang terlintas di hatinya. Ia yakin sosok di hadapannya itu bukan satu dari bangsa manusia seperti dirinya. Malaikatkah? Atau bangsa jin? Ia belum pernah berjumpa dua bangsa ciptaan Hyang itu sepanjang sisa-sisa rambut ubannya yang memutih kapas. Jadi ia tak bisa mengatakan dengan pasti, apalagi teka-teki, dari bangsa yang mana sosok makhluk di hadapannya itu. Ia hanya bisa mengatakan makhluk itu cantik, maka itu makhluk cantik.

Lama. Malam tambah hening, tambah senyap, tambah penuh tanya. Tak kelihatan lagi kejapan-kejapan kilat yang berseliweran membelah langit di atas. Sekonyong-konyong meluncur dari sela bibir makhluk cantik itu, tapi bibir padat berisi itu tiada bergerak, terdengar begitu saja, kata-katanya sangat jelas dan berbunyi, “Susui jabang bayiku hingga datang malam purnama kedua puluh tujuh….”

Serasa emak dikepung anak buah malaikat maut, linglung tak tahu apa yang mesti diperbuat. Jantungnya bunyi berdegup-degup, kedua belah matanya terus berkedip-kedip. Jari-jarinya gemetar ketika menepuk-nepuk kulit pipinya yang kisut-kendur. Suara bicara sosok itu yang menggema per kata-kata, di telinganya persis wangsit Hyang, memekakkannya hingga kemerotak persendian di sekujur tubuhnya kalah beradu dengan kemerosak gesekan dedaun yang diterjang angin amat kencang, amat mencekam.

Belum genap emak menghilangkan kekalutannya, tiba-tiba sosok mahacantik itu melesat dekat ke arahnya. Hingga ia harus memejamkan matanya rapat-rapat, dan hanya dua cuping telinganya yang waspada. “Akan kuambil kembali ia bilamana purnama telah sempurna….!” Hanya beberapa detik setelah gaungnya suara kakupak dari arah sawah penduduk di kanan-kirinya menghampiri gendang telinganya. Hanya beberapa detik setelah angin kencang tiba-tiba tenang, jalanan berbatu itu kembali gelap gulita. Nyala obor di tangan emak gemetar lamban.

Setelah peristiwa itu, esok paginya emak mengalami kesakitan dari ubun-ubun hingga kuku-kuku jemari kakinya. Kepalanya lebih pening dari sakit pusing biasa. Tubuhnya gemetar menggigil lebih hebat dari akibat kedinginan biasanya. Perutnya lebih tertusuk-tusuk ketimbang rasa lapar biasa. Tulang-tulangnya lebih rapuh daripada pengemis tua renta yang terlantar.

Orang-orang dusun dan sekitarnya memutuskan agar emak dan suaminya dipencilkan ke hutan di perbatasan dusun. Mereka percaya bahwa suami-istri “aneh” itu telah dikutuk. Makhluk cantik yang konon mencegat emak pada malam ganjil itu adalah jin yang menjelma dalam wujud malaikat samarannya. Bahkan kepala sesepuh dusun angkat tangan mengamini mereka.

Perut emak seperti perempuan hamil. Ia pun merasakan kesakitan-kesakitan yang lazim dialami oleh kebanyakan perempuan hamil. Emak memang hamil. Sementara minggu bergulir menjadi bulan. Dan ketika bulan menginjak putarannya yang kesembilan, emak melahirkan seorang bayi laki-laki. Tanpa bantuan dukun, tabib, atau orang pintar mana pun. Bayi laki-laki itu diberinya nama Banjo.

Banjo tumbuh sehat, itu pasti. Emak dan suaminya bahagia. Pun orang-orang dusun terimbas bunga rasa itu, meski dengan air muka yang berbeda. Melihat Banjo sama saja berdiri menonton satu atraksi “makhluk aneh” di sirkus pasar malam. Mereka membiarkan Banjo bertingkah. Bocah itu tak sadar, kegirangan penduduk dusun jauh lebih menyakitkan daripada tersengat ribuan lebah pekerja. Setiap kali orang-orang dusun terbahak, setiap kali itu pula kerongkongan emak semakin tercekat.

Hingga usia Banjo dua tahun lebih, hingga hari yang dijanjikan itu tiba, emak mendapat mimpi aneh. Dalam mimpi itu, ia melihat Banjo menjadi santapan makhluk serba nyala merah dan meruapkan hawa sangat panas. Tak ada yang sempat diingatnya, kecuali dengung suara menggelegar dari arah makhluk ganjil itu. “Aku minta anakku dari rahimmu….!” Emak tersimpuh lemas di samping bujur kaku suaminya yang meradang seperti orang sekarat.

Sepeninggal suaminya, masih ia ingat ia tak kuasa menolong Banjo yang meronta-ronta waktu itu. Matanya merah. Kedua tangannya mencengkeram jeruji-jeruji kayu, membuat kurungan kayu itu terguncang cukup keras. Saat itulah seorang anak kecil ingusan berlari menghambur ke halaman rumahnya ketika mendengar genderang dipalu di jalanan dusun. Peristiwa yang jarang terjadi. Anak kecil itu berlari membawa badannya yang tambur tanpa baju. Matanya bersinar-sinar memandangi arak-arakan para lelaki dusun sambil memalu bekhudah2 yang bertabuh hingar. Biji mata anak kecil itu mengikuti arakan. Serombongan laki-laki tanpa baju yang wajah dan tubuhnya dicoreng-corengi arang hitam mengarak seorang anak manusia dalam kurungan kayu yang ditandu. Mereka menuju ke puncak bukit di mana bertahta sebuah pohon kekar, mahabesar, dan menjulang tinggi. Di pelataran bawah pohon itulah Banjo dibaringkan di atas meja batu berlumut.

Banjo harus menjalani prosesi kurban kepada Hyang. Tubuh bocah laki-laki itu ditelanjangi. Kedua tangan dan kakinya diikat di masing-masing sisi meja batu. Setelah itu, seorang tetua ritual memercikkan air yang diyakini bertuah menghilangkan kekuatan jahat yang menghuni jasad seseorang, sambil merapal mantra.

Ingatan emak menjadi gelap. Tapi tak segelap malam ini. Tapak tangan kasar emak tak lepas mengusap kepala Banjo. Hampir empat belas malam berlalu, terhitung sejak malam ia “mencuri” tubuh kapar Banjo, mereka berpindah-pindah tempat perlindungan. Keduanya sebenarnya tidak ingin sembunyi dari kejaran orang-orang dusun. Emak sungguh berhasrat untuk meyakinkan mereka bahwa Banjo benar-benar anak yang lahir dari mulut rahimnya, bukan anak tumbal Hyang yang dipinjamkan di rahimnya. Tapi mereka tidak pernah bisa menerima keyakinannya itu. Karenanya ia dan Banjo harus berlindung dari piciknya kepercayaan mereka pada sesuatu yang menggariskan durhaka tidaknya manusia di hadirat Hyang.

Hampir sepertiga malam. Makhluk-makhluk yang dinapasi misteriusnya malam, makin menggeliat dalam kehitaman rimba bumi. Tak peduli sebuah tugas mahamulia telah memampatkan kerongkongan orang-orang dusun yang, kebanyakan para lelakinya, bermalam-malam membidik dua manusia paling dikutuk: Banjo dan emaknya. Meski membuat ladang-ladang garapan mereka terbengkalai, itu tak apa! Yang penting bagi mereka, dusun mereka bersih dari manusia-manusia durhaka, yang mengingkari wasiat Hyang.

Waktu bergerak lambat bagai geliatan pesolek di mata ratusan laki-laki dusun yang tersebar di tiap-tiap sudut batas dusun, juga di tempat-tempat gelap terpencil. Dan, dua buronan mereka telah menjadi begitu terkutuk di mata mereka, karena membuat tubuh mereka memagut dinginnya malam demi malam tanpa kehangatan dari napas sengal perempuan-perempuan mereka. Membuat biji mata mereka nyaris melesat dari liangnya. Membuat darah mereka mendidih, mengerjat-ngerjat sesekali, seperti dibakar ubun-ubun mereka. Lagi-lagi salah satu dari mereka geram.

“Haram jadah! Aku sudah muak! Terserah laknat Hyang kalau dusun ini masih membiarkan dua manusia terkutuk-Nya itu hidup, bahkan mungkin bisa lebih lama dari hidup kita semua. Aku tak peduli. Persetan! Bukankah Dia juga yang menghidup-matikan mereka?”

Persis, belum habis satu kali kedipan mata, setelah laki-laki dusun yang geram itu memberondongkan kalimat umpatannya, libasan petir sekonyong merobek angkasa yang gelap tak berbintang. Menghamburkan ratusan laki-laki dusun dari pos-pos penjagaan mereka, semburat tunggang-langgang, seperti sekawanan semut yang baru saja diobrak-abrik sarangnya oleh moncong trenggiling. Cambuk-cambuk petir itu mengoyak-moyak kesadaran mereka. Semua terjadi seperti dalam murka yang dahsyat.

***

Setelah yakin melelapkan Banjo di atas tumpukan daun-daun lebar dan reranting kering di sisinya, emak bangkit. Melangkah terbungkuk-bungkuk menuju mulut gua kecil yang tak sengaja diketemukannya persis ketika libasan petir pertama, libasan paling kilat. Emak memandang saja ke kejauhan. Petir mencekam. Kesiur angin menegakkan bulu kuduk.

Hingga…hingga sepertinya emak melihat kelebat sinar putih. Tinggi dan besar. Mendekat…Mendekat…Lalu melampaui diri tegaknya di tepi mulut gua. Melingkari tubuh Banjo yang meringkuk lelap.
Tak ada perlawanan. Tatapan emak telah menjadi begitu hampa. ***

Catatan:
1 Yakni bebunyian dari bambu untuk menghalau burung di ladang.
2 Alat musik seperti terbangan, namun dalam bentuknya yang lebih besar.

*) Cerpen ini merupakan pemenang kedua (tak ada pemenang pertama) lomba cerpen Krakatau Award 2005 yang diadakan Dewan Kesenian Lampung, yang diumumkan Agustus lalu. St. Fatimah adalah cerpenis Surabaya. Selain cerpen, lulusan Sastra Inggris Unair itu juga menulis puisi, dan esai sastra-budaya. Dia juga menjadi editor dan penerjemah freelance.





>Simpang Ajal

25 03 2009

>Cerpen Satmoko Budi Santoso

SELESAI sudah tugas Montenero. Karenanya, kini ia tinggal bunuh diri. Bunuh diri! Itu saja. Betapa tidak! Ia telah membunuh tiga orang itu sekaligus. Ya, tiga orang. Santa, orang yang dengan serta-merta memenggal kepala bapaknya ketika bapaknya menolak menandatangani selembar kertas yang berisi surat perjanjian untuk terikat dengan sebuah partai. Lantas Denta, yang ketika pembunuhan itu terjadi berusaha membungkam mulut bapaknya agar tidak berteriak, serta Martineau yang mengikatkan tali pada tubuh bapaknya agar bapaknya tak bergerak sedikit pun menjelang kematiannya. Karena itu, sekarang, Montenero sendiri tinggal bunuh diri!

“Selamat malam, Montenero. Sebaiknya kamu kubur dulu ketiga mayat itu baik-baik! Setelah itu, terserah!” ucap batin Montenero, meronta.

“Ya, kubur dulu! Lantas, selamat tinggal!” sisi kedirian batin Montenero yang lain menimpali.

Sesungguhnya Montenero memang tidak perlu menjumput beragam kebijaksanaan untuk sesegera mungkin mengubur mayat-mayat itu. Toh memang, tugas pembantaiannya telah usai. Dan dengan sendirinya, dendam yang bersemayam di dalam dirinya lunas terbalaskan.

“Tetapi, semestinya engkau mempunyai cukup rasa kemanusiaan untuk tidak membiarkan mayat-mayat itu menggeletak begitu saja karena kau bunuh! Kasihan tubuh mereka menggeletak! Semestinya jika dengan cepat mereka menjadi makanan belatung-belatung menggiriskan di dalam tanah. Bukan menjadi makanan empuk bagi lalat-lalat hijau!” Belati, yang telah menikam dada Santa, Denta, dan Martineau masing-masing sebanyak enam kali, yang sepertinya sangat tahu berontak batin Montenero, ikut angkat bicara.

Montenero menghela napas. Menggeliat.
“Ah, benar. Sudah semestinya. Sekarang, engkau harus bisa membebaskan pikiranmu dari angan-angan tentang balas dendam. Ingat, ketiga mayat itu telah menjadi seonggok daging yang tak berarti. Harus dikubur! Engkau harus mengubah pola pikir yang begitu konyol itu, Montenero,” cecar sebilah Pedang, yang rencananya ia gunakan juga untuk membunuh, tetapi Santa, Denta, dan Martineau ternyata cukup memilih mati cuma dengan sebilah Belati.

“Oh ya. Ya. Aku ingat lagi sekarang. Engkau harus mempersiapkan banyak keberanian agar kau menjadi tidak gagu dalam bersikap. Jangan seperti ketika kau akan membunuh! Kau hunjamkan diriku ke dada ketiga mayat itu dengan gemetar. Sekarang, untuk menguburkan ketiga mayat itu, tak perlu ada denyut ragu yang berujung gemetaran badan, desah napas memburu, suara terengah-engah, dan keringat dingin yang keluar berleleran. Semua itu harus diubah. Dengan segera!”

Montenero melirik jam tangan. Kurang tiga puluhan menit kokok ayam bakalan meletup kejut. Ia menghapus keringat dingin yang perlahan-lahan tapi pasti mulai membanjiri muka dan tangannya.

“Cepat lakukan! Keberanian telah datang dengan sendirinya. Lakukan!”
Angin pagi mendesir. Jam tangan terus berdetak. Montenero pucat. Lunglai. Apa yang dikatakan oleh Belati dan Pedang itu ada benarnya. Tak ada kebijaksanaan lain menjelang pagi hari itu kecuali penguburan. Tentu saja, penguburan dengan segala kelayakannya. Ada dupa, bunga, kain pembungkus mayat, dan pastilah keberanian. Untuk yang terakhir, soal keberanian itu memang sudah sedikit dimiliki Montenero. Tetapi, untuk dupa, bunga, dan juga sesobek kain pembungkus mayat? Atau, pikiran tentang sesobek kain pembungkus mayat sungguh tak diperlukan lagi?

“Ah, begitu banyak pertimbangan kau! Ambillah cangkul! Gali tanah yang cukup untuk mengubur ketiga mayat itu sekaligus. Cepat! Tunggu apa lagi, ha?! Ayo, berikan kelayakan kematian kepada Santa, Denta, dan Martineau. Setidaknya, agar ruh mereka bisa sedikit tertawa di alam baka sana. Cepat Montenero! Waktu tinggal sebentar! Masih ada tugas-tugas lain yang harus kau panggul untuk mencipta sejarah. Sejarah, Montenero! Jangan main-main! Cepat! Ayo, dong. Cepat!!!”

Montenero diam. Terpaku. Ia sebenarnya memang tidak perlu mempertimbangkan apa-apa lagi kecuali segera mengubur ketiga mayat itu serapi mungkin, agar paginya tidak sia-sia karena dikorek-korek anjing. Lantas, selesai! Sejarah baru tergores. Bapaknya yang mati sangat mengenaskan dengan kepala terpenggal dari tubuhnya, terbalas sudah. Meskipun kematian Santa, Denta, dan Martineau tidak sempurna seperti kematian bapaknya, tetapi setidaknya mati. Itu saja. Karena hanya sisa keberanian itulah yang dimilikinya. Kebetulan memang juga mati, bukan? Tuntaslah cerita ibunya yang selalu membekas dalam ingatan dan membuatnya selalu berpikir dan bersikap semirip orang sableng.

Montenero memutuskan mengambil cangkul. Belati dan Pedang tertawa. Membuat Montenero kembali gundah, berada dalam sangkar kebingungan. Keringat berleleran lagi dari sekujur tubuhnya. Tangannya kembali gemetar. Dengan berteriak sekeras mungkin, Montenero membanting cangkul yang sudah tergenggam kencang di tangannya. Berarti keberaniannya sedikit hilang, bukan? Bahkan barangkali hilang sama sekali? Belati dan Pedang kebingungan. Keduanya pucat pasi. Motivasi apa yang mesti disuntikkan untuk membangkitkan kesadaran keberanian Montenero menjelang matahari terbit?

“Aku tak mampu lagi melakukan apa-apa. Aku telah menuntaskan tugasku. Aku telah mencipta…. Uh…. Semestinya kau tak menghimpitku dengan hal-hal kecil yang justru akan menjebakku pada rasa bersalah semacam ini!” dengan suara penuh gemetar, seolah dicekam oleh ketakutan entah apa, Montenero angkat bicara.

“O…. Kau menganggapnya hal kecil, Montenero? Harusnya aku tadi menolak untuk kau gunakan membunuh jika kau menganggap penguburan adalah sebagai hal yang kecil, remeh. O…. aku bisa saja mogok untuk membunuh bila akhirnya kau malah bimbang sikap semacam ini! Kau tahu, Montenero. Aku bisa balik mengubah keberanianmu untuk membunuh. Aku bisa tiba-tiba saja menikam dadamu sendiri di depan Santa, Denta, dan Martineau. Bangsat! Anjing, kau!!!”

Montenero terpaku. Suasana di sekitar tempat pembantaian itu merayap senyap. Montenero berulang-kali blingsatan. Montenero terus-menerus mengusap keringat yang berleleran membasahi sekujur wajah. Dan detik terus saja berdetak. Sesekali ia garuk-garuk kepala sembari berjalan mondar-mandir. Belati dan Pedang cuma memandangi saja. Bisa jadi, Belati dan Pedang memang sudah kehabisan kata-kata untuk memotivasi Montenero. Sesekali dilihatnya mayat Santa yang terbujur kaku, Denta yang terkapar melingkar bagai ular, dan Martineau yang jika diperhatikan secara jeli ternyata malah tersenyum di puncak kenyerian kematiannya.

“Bagaimana, Montenero? Bagaimana? Aku masih sanggup membikin keberanian buatmu. Belum terlambat, dan tak akan pernah terlambat. Aku masih bersabar bersama Pedang.”

“Bagaimana?” Montenero mengusik tanya kepada dirinya sendiri.
“Terserah!”
“Bagaimana, Belati?”
“Terserah! Bagaimana dengan kamu, Montenero? Masih sanggup kau mendengar kata-kataku? Ok. Engkau masih bisa bekerja dengan cepat menanam ketiga mayat itu baik-baik. Ambillah cangkul itu. Keduklah tanah segera. Kuburkan mereka senyaman mungkin. Ah, bulan yang sebentar lagi bakalan angslup itu juga pasti merestui dan memandangimu dengan rasa puas. Barangkali, ia bakalan memberi ucapan selamat kepadamu. Kenapa engkau mesti terjebak pada rasa ragu? Ayo, aku senantiasa berada di belakangmu!”

Aih, ayam telah berkokok bersahutan. Meskipun ayam baru berkokok, keadaan di sekitar tempat pembantaian itu sudah cerah. Udara meruapkan kesegaran. Montenero terlambat. Ia belumlah membuat perhitungan-perhitungan untuk bergegas menyuruh Belati agar mau menikamkan diri ke dada Montenero yang kini telah disesaki gebalau bingung, ketololan, amarah, dan entah apa lagi, juga entah ditujukan buat siapa lagi. Montenero betul-betul lunglai, lenyap keberanian, tercipta goresan sejarah yang entah baru entah tidak. ***





>Kota Kelamin

25 03 2009

>Cerpen Mariana Amiruddin

Mataku berkaca membentuk bayangan. Bayangan wajahnya. Wajah pacarku. Wajah penuh hasrat menjerat. Duh, dia menyeringai dan matanya seperti anjing di malam hari. Aku tersenyum dalam hati, ia menggeliat, seperti manusia tak tahan pada purnama dan akan segera menjadi serigala. Auu! Ia melolong keras sekali, serigala berbadan sapi. Mamalia jantan yang menyusui. Aku meraih putingnya, menetek padanya, lembut sekali. Lolongannya semakin keras, menggema seperti panggilan pagi. Pada puncaknya ia terkapar melintang di atas tubuhku. Dan tubuh pagi yang rimbun. Ia tertidur.

Pagi menjelang, ketika gelap perlahan menjadi terang. Tampak tebar rerumput dan pepohonan menjulang, angin dan sungai dan di baliknya bebek-bebek tenggelam dalam gemericik. Kutatap tubuhnya yang berkeringat membasahi tubuhku. Mengalir menumpuk menjadi satu dengan keringatku. Bulir-bulir air seperti tumbuh dari mahluk hidup. Bulir-bulir yang juga dinamai embun-embun bertabur di atasnya, bercampur keringat kami.

Matahari membidik tubuhku dan tubuhnya. Seperti kue bolu yang disirami panas agar merekah wangi. Wangi birahi tubuh kami. Pacarku masih mendengkur. Aku memperhatikan dadanya yang naik turun berirama, yang di atasnya dibubuhi bulu-bulu halus. Aku memainkan bulu-bulu itu dan sesekali mencabutinya. Bangun, kataku berbisik di telinganya. Lihat, matahari menyapa kita. Bebek-bebek naik ke daratan dan mendekati, mematuk biji-biji tanah di sekitarku. Aku melirik pelir pacarku yang kecoklatan. Kulit kendur, dan seonggok penis layu di atasnya. Aku tertawa sendiri. Bebek-bebek menyahut. Aku membelai penisnya, seperti membangunkan siput yang bersembunyi di balik rumahnya. Penis yang kunamai siput itu bergerak bangkit, bangun rupanya. Menegang, menantang, dan tersenyum memandangku. Selamat pagi, kataku. Kamu lelah semalaman, memasuki liang liurku. Dan rupamu yang menegang berjam-jam, kau harus menembus liangku berulang-ulang.

Di tempat inilah kami biasa bertamasya melakukan senggama. Tempat yang jauh dari mata-mata manusia yang mengutuk kelamin orang dan kelaminnya sendiri. Pacarku lalu terbangun, matanya memicing, bibirnya membentuk perahu, tersenyum seadanya. Liangmu nakal, katanya sambil menggeliat dan memelukku. Apa jadinya vagina tanpa liang. Apa jadinya tanpa lubang. Bagaimana menembusnya, katanya. Dan liurmu yang berlumur di penisku, bagaimana Tuhan menciptanya.

Aku memetik sekuntum bunga dan mematahkan putiknya, terlihat getah mengalir di ujung patahannya. Seperti ini, kataku menunjukkan padanya. Dan aku seperti ini, katanya sambil menjatuhkan serbuk sari bunga itu di atas kepala putik. Kami tertawa renyah.

Kami sepakat bahwa kelamin seperti sekuntum bunga dengan dua jenis kelamin di dalamnya. Benang sari dan putik yang tak mungkin berpisah dari kelopak bunganya. Juga warna-warna alam yang membiarkan kami melakukan senggama. Tak ada yang melarang, membatasi, tak juga mengomentari.

Inilah kebahagiaanku dengannya, kelamin-kelamin yang bahagia di malam hari. Kelamin juga butuh kebahagiaan. Kami mengerti kebutuhan itu. Kelamin-kelamin yang melepas jenuh, setiap hari tersimpan di celana dalam kami masing-masing. Tak melakukan apa pun kecuali bersembunyi dan menyembur air seni. Kelamin-kelamin yang menganggur ketika kami bekerja keras mencari uang. Apalagi penis pacarku, ia terlipat dan terbungkus di kantong sempaknya. Ketika mengembang ia menjadi sesak. Betapa tersiksanya menjadi penis. Begitu pula vagina, wajahnya sesak dengan celana dalam ketat nilon berenda-renda, tak ada ruang baginya. Kelamin-kelamin hanya dibebaskan ketika kencing dan paling-paling memelototi kakus setiap hari.

Kelamin kami memang tak boleh terlihat, oleh binatang sekalipun. Meski pada awalnya mereka hadir di dunia yang dengan bebasnya menghirup udara bumi. Sejak itu mereka bersinggungan dengan benda-benda buatan manusia. Terutama ketika dewasa, mereka semakin tak boleh diperlihatkan. Tak boleh terlihat mata manusia.

Suatu hari, vaginaku memucat. Penis pacarku kuyu. Aku heran, apa yang terjadi, kelamin yang tak bahagia. Aku dan pacarku diam, suasana sepertinya tak lagi menghidupkan kelamin-kelamin yang menempel di tubuh kami. Seandainya mereka bisa bicara apa maunya. Lalu kami mencoba telanjang dan berbaring berpelukan di rerumputan. Kelamin kami saling bertatapan. Tapi kami malah kedinginan. Tubuh kami menggigil memucat. Angin malam pun datang, mengiris-iris tulang kami. Ai! Pacarku, tiba-tiba penisnya hilang. Ke mana ia? Di sini, ia melipat meringkuk tak mau muncul, kata pacarku. Vaginamu? Mana vaginamu? Pacarku merogoh vaginaku, berusaha sekuat tenaga mencari lubang dan liang, tapi tak ketemu. Mana lubangmu? Kok susah? Tanya pacarku. Ia menutup sendiri, kataku. Lihat, senyumnya tak ada lagi.

Kami berdua beranjak, kemudian duduk di dekat sungai, menjauh dari angin. Tubuhku dan dia masih telanjang dan pucat di malam yang semakin pekat. Kami terdiam. Diam saja sampai pagi.
***
Sudah lama aku tak bertemu pacar. Entah mengapa, aku pun tak tertarik untuk bertemu. Bahkan mendengar lolongan dan dengkur tidurnya. Serta dadanya yang naik turun bila terserang nafsu. Aku sibuk bekerja beberapa minggu ini. Tak pernah tertarik pula pada bebek-bebek, angin dan pohon yang biasa aku dan dia temui di tengah senggama kami. Entah mengapa, ketika kubuka celanaku tampak vaginaku pucat tak lagi menunjukkan senyumnya. Kutarik celanaku dengan kasar, seperti ingin menyekap vaginaku yang tak lagi ramah. Sial! Kataku. Aku merasa tak ada gunanya punya kelamin kecuali untuk keperluan kencing. Aku kehilangan gairah, kulempar semua berkas-berkas di meja kerjaku. Juga foto-foto di atas meja. Foto-foto ketika kami bahagia. Dan foto-foto kelamin kami di dalam laci. Aku melemparkannya hingga membentur dinding.

Kubuka kaca jendela ruangan. Tampak tebaran gedung-gedung tinggi dan patung besar menjulang di tengah kota dan jalan-jalan layang yang menebas di tengahnya. Tampak pemukiman kumuh di baliknya dalam cahaya remang ditelan tebaran lampu gedung dan jalan yang menyala-nyala. Napasku sesak, seperti lama tak bernapas. Kujambak rambutku sendiri, dan aku berteriak panjang sekuat-kuatnya. Sampai aku lelah sendiri. Aku duduk di pojok ruangan, memandang meja kerjaku yang berantakan. Duduk lama hingga bulan tiba. Semua orang yang ingin menemuiku aku tolak. Aku mengunci pintu dan mematikan lampu. Aku terserang sepi. Kehilangan motivasi. Aku tertidur di atas kakiku sendiri.

Terdengar suara-suara merintih memanggil-manggil. Suara sedih dan renta. Ia seperti datang dari udara kota. Aku terbangun dan menajamkan pendengaran. Suara apa itu? Ia ternyata hadir tak jauh dari dekatku. Aku mencari sumber suara itu. Mana dia? Kutemui suara itu yang ternyata keluar dari vaginaku.

Kami tak pernah diakui. Kami terus saja diludahi. Kami dinamai kemaluan, yang artinya hina. Manusia tak pernah menghargai kami. Sama dengan pelacur-pelacur itu. Segala aktivitas kami dianggap kotor.

Samar-samar kudengar suara vaginaku yang aneh. Ia tak seperti suara manusia. Kata-katanya seperti kayu yang lapuk dan lembab, yang sebentar lagi akan dimakan rayap.

Bagaimana cara Tuhan memaknai kami? Kami pun buruk dalam kitab-kitab suci, lebih buruk dari setan dan jin.

Aku mengelus vaginaku. Kubuka celanaku dan membiarkannya bernapas. Aku bingung sendiri bagaimana ia bisa bicara. Itukah yang membuatmu pucat selama ini?

Keningku berkerut. Setelah itu tak ada lagi suara. Aku menatap vaginaku, seperti menatap mahluk hidup yang mati. Aku menyalakan lampu. Aku membereskan berkas-berkasku yang berantakan di lantai ruangan. Aku membuka kunci pintu dan keluar menuruni tangga, aku ingin berjalan mengelilingi kota di hari menjelang larut. Tampak orang-orang lalu-lalang dan beberapa seperti sengaja menabrak tubuhku. Aku jengkel dan berteriak memaki mereka. Tiba-tiba datang suara-suara seperti rayap yang merambat di balik kayu-kayu bangunan tua. Ampun, suara apa lagi ini? Samar-samar aku seperti melihat orang-orang telanjang dan berbicara dengan kelaminnya. Semua orang di kota ini telanjang! Kelamin mereka megap-megap. Penis-penis menegang seperti belalai gajah yang sedang marah dan melengkingkan suaranya. Vagina-vagina memekik dan menampakkan kelentit-kelentitnya yang tak lagi merekah. Liang-liang gelap vagina tampak menganga di depan mata.

Aku tak kuasa mengendalikan kebingunganku. Aku tahu para kelamin sedang meneriakkan batinnya. Aduh, manusia. Benar juga, bahkan tubuhmu sendiri tak kau hargai. Aku ingin sekali membantu mereka. Bahkan kelamin-kelamin yang sejenis dan bercinta setiap malam, dan kelamin-kelamin yang telah diganti dengan kelamin jenis lain, aku melihat jelas sekali kelamin para waria yang sedang berjoget di jalanan itu. Kelaminnya menangis tersedu-sedu mengucapkan sesuatu.

Aku lelah dan berhenti di sebuah taman kota. Aku duduk di bangku taman itu sembari melihat patung telanjang yang menjulang di atasku. Penisnya tampak dari bawah tempatku duduk. Aku melihat rupa patung itu yang penuh amarah, dan penis besarnya yang tak lain adalah batu.

Pacarku, aku teringat pacarku. Di manakah pacarku.
Di sini!
Kaukah itu?

Tak kuduga pacarku tiba mendatangiku dalam keadaan telanjang. Penisnya seperti jari-jari yang sedang menunjuk. Penisnya menunjuk-nunjuk ke arah kelaminku. Ternyata aku pun telanjang. Orang-orang di kota ini telanjang tak terkecuali. Kulihat vaginaku megap-megap dan liurnya menetes-netes. Pacarku lekas meraih tubuh telanjangku di taman itu, memeluk dan menggendongku di bawah patung besar telanjang menjulang.

Matanya menembus mata dan hatiku. Jarinya merogoh liang gelap vaginaku yang sudah menganga. Pacarku sangat mengenal teksturnya. Liur yang melimpah. Limpahannya membasahi jemarinya. Lalu ia mencabutnya dan menggantikan dengan penisnya yang menembus. Kini kami bersenggama di tengah kota. Kota di mana setiap orang telanjang dan tak peduli dengan ketelanjangan orang lain. Auu! Pacarku kembali menjadi serigala melolong. Ia menggigit seluruh tubuhku. Seperti anak anjing, aku menggapai sepasang puting di dadanya dengan lidahku. Kami menyatu dalam tubuh dan kelamin. Aku mengerti sekarang, kelamin pun punya hati. ***

untuk Hudan Hidayat yang ’takkan pernah sembuh’
Jakarta, 1 September 2005

Tentang Pengarang

Mariana Amiruddin, Magister Humaniora Kajian Wanita Universitas Indonesia. Kini bekerja sebagai Redaktur Pelaksana Jurnal Perempuan
dan Manager Program Yayasan Jurnal Perempuan. Bukunya antara lain Perempuan Menolak Tabu, Beyond Feminist dan novel berjudul Tuan dan Nona Kosong bersama Hudan Hidayat.